MAKALAH
“Mitigasi dan
Adaptasi Bencana Alam”
Disusun Oleh : Kelompok
4
Kelas : X IPS 3
Anggota : - Risma Lawiyah
-
Ayodhiya
Midyatama
-
Jaelani
-
Erika
Pratami
-
Salsabila
-
Wiwin
SMA NEGERI 1 LEMAHABANG
Jl.KH.A. Wahid
Hasyim No. 72 Kecamatan Lemahabang
@2016
MITIGASI
BENCANA ALAM
A.
Pengertian Bencana
Berdasarkan Undang-Undang
nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana merupakan peristiwa
atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor
non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.
Undang-Undang nomor 24
tahun 2007 mengelompokkan bencana menjadi bencana alam, bencana nonalam,
bencana sosial. Bencana alam merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa
bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah
longsor.
Bencana
nonalam merupakan bencana yang diakibatkan oleh fenomena nonalam antara lain
berupa kegagalan teknologi, kegagalan modernisasi dan epidemi atau wabah
penyakit.
Bencana
sosial merupakan bencana yang diakibatkan oleh interaksi antarmanusia yang
meliputi konflik sosial antarkelompok atau konflik antarkomunitas masyarakat
dan terorisme.
B.
Jenis-Jenis Bencana Alam
1.
Bencana alam yang disebabkan oleh dinamika Litosfer
a.
Letusan gunung api
Letusan gunung api merupakan proses keluarnya magma yang berada di perut
bumi ke permukaan bumi berupa material padat berupa bom, lavili dan deb
vulkanik, material cair berupa lahar dan material gas berupa awan panas
b.
Tanah longsor
Tanah longsor merupakan gerakan masa batuan atau tanah menuruni lereng atau
tebing.
c.
Gempa bumi
Gempa bumi merupakan getaran pada permukaan bumi yang diakibatkan oleh
pergerakan dan/atau interaksi lempeng tektonik serta aktivitas vulkanik
2.
Bencana alam yang disebabkan oleh dinamika Hidrosfer
a.
Banjir
Fenomena banjir merupakan peristiwa meluapnya air dari sungai sehingga
menggenangi wilayah daratan yang normalnya kering. Banjir umumnya terjadi
ketika volume air pada sungai melebihi daya tampung sungai tersebut.
b.
Tsunami
Fenomena tsunami merupakan gelombang pasang yang terjadi akibat akibat
aktivitas tektonik dan letusan gunung api yang terdapat di dasar laut
3.
Bencana alam yang disebabkan oleh dinamika Atmosfer
a.
Badai tropis
Dalam meteorologi dikenal
istilah Badai Tropis yang merupakan pusaran angin tertutup pada suatu wilayah
bertekanan udara rendah. Kekuatan angin yang terjadi pada Badai Tropis dapat
mencapai kecepatan lebih dari 128 km/jam dengan jangkauan lebih dari 200 Km dan
berlangsung selama beberapa hari hingga lebih dari satu minggu.
b. Tornado
Tornado adalah kolom udara yang berputar kencang yang membentuk hubungan
antara awan cumulonimbus atau dalam kejadian langka dari dasar awan cumulus dengan permukaan tanah. Tornado muncul dalam banyak ukuran namun
umumnya berbentukcorong kondensasi yang terlihat jelas yang ujungnya yang menyentuh bumi menyempit dan
sering dikelilingi oleh awan yang membawa puing-puing. Umumnya tornado memiliki kecepatan angin 177 km/jam atau lebih dengan rata-rata jangkauan 75 m dan menempuh beberapa kilometer sebelum menghilang. Beberapa tornado yang mencapai kecepatan angin
lebih dari 300-480 km/jam memiliki lebar lebih dari satu mil (1.6 km)
dan dapat bertahan di permukaan dengan lebih dari 100 km.
C.
Pengertian Mitigasi dan Adaptasi Penanggulangan Bencana Alam
1.
Pengertian Mitigasi Bencana
Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, mitigasi didefinisikan sebagai
serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan
fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Beberapa tujuan utama mitigasi bencana alam yaitu:
1)
Mengurangi resiko bencana bagi penduduk dalam bentuk korban jiwa, kerugian
ekonomi dan kerusakan sumber daya alam.
2)
Menjadi landasan perencanaan pembangunan
3)
Meningkatkan kepedulian masyarakat untuk menghadapi serta mengurangi dampak
dan resiko bencana sehingga masyarakat dapat hidup aman
Untuk melakukan
penanggulangan bencana, diperlukan informasi sebagai dasar perencanaan
penanganan bencana yang meliputi:
1)
Lokasi dan kondisi geografis wilayah bencana serta perkiraan jumlah
penduduk yang terkena bencana
2)
Jalur transportasi dan sistem telekomunikasi
3)
Ketersediaan air bersih, bahan makanan, fasilitas sanitasi, tempat
penampungan dan jumlah korban
4)
Tingkat kerusakan, ketersediaan obat obatan, peralatan medisserta tenaga
kesehatan
5)
Lokasi pengungsian dan jumlah penduduk yang mengungsi
6)
Perkiraan jumlah korban yang meninggal dan hilang
7)
Ketersediaan relawan dalam berbagai bidang keahlian
Siklus manajemen
bencana terdiri dari empat fase. Tiap fase tersebut saling melengkapi dan
tumpang tindih. Keempat fase tersebut adalah:
a.
Mitigasi
Merupakan upaya
meminimalkan dampak bencana. Fase ini umumnya terjadi bersamaan dengan fase
pemulihan dari bencana sebelumnya. Seluruh kegiatan pada fase mitigasi
ditujukan agar dampak dari bencana yang serupa tidak terulang.
b.
Kesiapsiagaan
Merupakan perencanaan terhadap
cara merespons kejadian bencana. Dalam fase ini perencanaan yang dibuat oleh
lembaga penanggulangan bencana tidak hanya berkisar pada bencana yang pernah
terjadi pada masa lalu, tetapi juga untuk berbagai jenis bencana lain yang
mungkin terjadi.
c.
Respon
Merupakan upaya
meminimalkan bahaya yang diakibatkan oleh terjadinya bencana. Fase ini
berlangsung sesaat setelah terjadi bencana dan dimulai dengan mengumumkan
kejadian bencana serta mengungsikan masyarakat.
d.
Pemulihan
Merupakan upaya
pengembalian kondisi masyarakat sehingga menjadi seperti semula. Pada fase ini
pekerjaan utama yang dilakukan masyarakat dan petugas adalah menyediakan tempat
tinggal sementara bagi korban bencana dan membangun kembali sarana dan
prasarana yang rusak. Selama masa pemulihan ini, dilakukan pula evakuasi
terhadap langkah-langkah penanganan bencana yang telah dilakukan.
2.
Adaptasi Penanggulangan Bencana Alam
Adaptasi bencana adalah
penyesuaian sistem alam dan manusiaterhadap stimulus bencana alam nyata atau
yang diharapkan tidak ada dampak-dampaknya, yang menyebabkan kerugian atau
mengeksploitasi kesempatan-kesempatan yang memberi manfaat.
Adapatsi bencana alam
perlu dilakukan mengingat adanya ancaman-ancaman bencana alam yang membahayakan
manusia seperti:
1)
Ancaman alamiah
Proses atau fenomena alam
berupa tanah longsor, tanah bergerak yang bisa menyebabkan hilangnya nyawa,
cidera atau dampak-dampak kesehatan lain, kerusakan harta benda, hilangnya
penghidupan dan layanan, gangguan sosial dan ekonomi atau kerusakan lingkungan.
2)
Ancaman biologis
Proses atau fenomena
bersifat organik atau yang dinyatakan oleh vektor-vektor biologis termasuk
keterpaparan terhadap mikroorganisme yang bersifat patogen, toksin dan
bahan-bahan bioaktif yang bisa menghilangkan nyawa, cidera, sakit atau dampak-dampak
kesehatan lainnya kerusakan harta benda, hilangnya penghidupan dan layanan,
gangguan sosial dan ekonomi atau kerusakan lingkungan.
3)
Ancaman geologis
Proses atau fenomena
geologis berupa gempa bumi dan gunung meletus bisa mengakibatkan hilangnya
nyawa, cidera atau dampak-dampak kesehatan lain, kerusakan harta benda,
hilangnya penghidupan dan layanan, gangguan sosial dan ekonomi atau kerusakan
lingkungan.
4)
Ancaman hidrometeorologis
Proses atau fenomena yang
bersifat atmosferik, hidrologis atau oseanografis berupa pemanasan global dan
tsunami yang bisa mengakibatkan hilangnya nyawa, cidera atau dampak-dampak
kesehatan lain, kerusakan harta benda, hilangnya penghidupan dan layanan,
gangguan sosial dan ekonomi atau kerusakan lingkungan.
5)
Ancaman sosial-alami
Fenomena meningkatnya
kejadian peristiwa-peristiwa ancaman bahaya geofisik dan hidrometeorologis
tertentu seperti tanah longsor, banjir, dan kekeringan, yang disebabkan oleh
interaksi antara ancaman bahaya alam dengan sumber daya lahan dan lingkungan
yang dimanfaatkan secara berlebihan atau rusak
Hal-hal penting dalam adaptasi dan ancaman bencana alam adalah:
-
Kesadaran publik
-
Kesiapsiagaan
-
Ketangguhan/tangguh
-
Langkah-langkah struktural/nonstruktural
-
Manajemen resiko bencana
-
Partisipasi
Adaptasi diperlukan untuk
mengurangi dampak negatif dari bencana. Berikut contoh adaptasi dalam berbagai
bidang kehidupan manusia:
-
Adaptasi dalam bidang ekonomi
-
Adaptasi dalam bidang kesehatan
-
Adaptasi dalam ketersediaan air
-
Adaptasi terhadap wilayah perkotaan yang sering dilanda banjir
3.
Usaha Pengurangan Resiko Bencana Alam
Usaha pengurangan resiko
bencana alam di Indonesia dapat dilakukan dengan cara:
1)
Pembuatan peta risiko bencana
Pengenalan dan pengkajian
ancaman bencana atau suatu wilayah berangkat dari pemahaman terhadap kondisi
dan karakteristik suatu wilayah, baik dari segi fisik maupun sosial. Proses
kajian ini dilakukan oleh berbagai ahli dengan berbagai bidang ilmu kemudian
digabungkan dan dianalisis dengan menggunakan pendekatan geografi. Hasil akhirnya
adalah peta-peta yang menggambarkan karakteristik suatu wilayah dari berbagai
aspek.
Penggambaran resiko
bencana yang terdapat di suatu wilayah dilakukan dengan membuat peta resiko
bencana. Secara umum, peta ini menggambarkan tingkat resiko terjadinya suatu
bencana tertentu di suatu wilayah. Peta ancaman bencana dibuat berdasarkan
beberapa indikator, antara lain sebagai berikut:
-
Zonasi wilayah rawan gempa bumi
-
Arus laut
-
Perkitaan ketinggian genangan tsunami
-
Zonasi wilayah rawan banjir
-
Zonasi wilayah rawan longsor
-
Zonasi wilayah terkena dampak letusan gunung api
-
Penggunaan lahan dan vegetasi
-
Bentuk medan dan kelerengan
-
Jenis hutan
-
Jenis tanah
-
Tipe iklim dan curah hujan tahunan
Peta kerentanan dibuat
berdasarkan beberapa indikator yaitu:
-
Kepadatan penduduk
-
Rasio jenis kelamin
-
Tingkat kemiskinan
-
Jumlah difabel
-
Rasio kelompok umur
-
Luas lahan produktif
-
Kontribusi pendapatan domestik regional bruto (PDRB)
-
Jumlah bangunan, fasilitas umum, dan fasilitas darurat
-
Kepadatan bangunan
-
Jenis vegetasi
2)
Sistem peringatan dini bencana alam
UNISDR mendefinisikan
sistem peringatan dini adalah sekumpulan kapasitas yang dibutuhkan untuk
mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi peringatan yang bermakna dan tepat
waktu sehingga memungkinkan individu, masyarakat dan organisasi yang terancam
bencana untuk bersiap dan bertindak dengan tepat dalam waktu yang
cukup untuk mengurangi kemungkinan bahaya atau kerugian.
Konsep sistem peringatan
dini terdiri dari empat unsur yaitu:
a.
pengetahuan tentang resiko bencana
b.
layanan pengawasan dan peringatan
c.
penyebaran informasi dan komunikasi
d.
kemampuan merespon
Langkah mitigasi sesudah
bencana meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.
menginventarisasi data-data kerusakan akibat bencana dan kekuatan bencana
yang terjadi
b.
mengidentifikasi wilayah-wilayah yang terkena dampak bencana berdasarkan
tingkat kerusakan
c.
membuat rekomendasi dan saran untuk penanggulangan bencana pada masa depan
d.
membuat rencana penataan ulang wilayah, termasuk rencana tata ruang dan
penggunaan lahan
e.
memperbaiki dan mengganti fasilitas pemantauan bencana yang rusak
f.
melanjutkan aktivitas pemantauan rutin dan simulasi tanggap bencana
3)
Simulasi bencana alam
Simulasi bencana adalah
kegiatan pemberian informasi tentang cara-cara tentang penyelamatan diri kepada
masyarakat oleh petugas/instansi terkait pada wilayah rawan bencana dan/atau
disertai simulasi penyelamatan untuk mencegah atau meminimalkan dampak bencana
alam yang mungkin terjadi. Kegiatan ini idealnya diikuti oleh seluruh anggota
masyarakat yang berada di wilayah rawan bencana dan seluruh pihak yang terlibat
dalam proses mitigasi dan penanggulangan bencana.
Salah satu tujuan utama
dari pelaksanaan simulasi bencana adalah menguji kesiapan seluruh sistem,
prosedur, dan perangkat mitigasi serta penangulangan bencana.
D.
Sebaran Daerah Rawan Bencana Alam di Indonesia
Beberapa daerah sebaran rawan bencan alam di Indonesia yaitu:
1.
Gempa bumi
Indonesia merupakan daerah
rawan gempabumi karena dilalui oleh jalur pertemuan 3 lempeng tektonik, yaitu:
Lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik.
Lempeng Indo-Australia
bergerak relatip ke arah utara dan menyusup kedalam lempeng Eurasia, sementara
lempeng Pasifik bergerak relatip ke arah barat.
Jalur pertemuan lempeng
berada di laut sehingga apabila terjadi gempabumi besar dengan kedalaman
dangkal
2.
Gunung meletus
Jumlah Gunung Api atau
Gunung berapi di Indonesia yang masih aktif 129 buah yang tersebar di wilayah
Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi, dan Papua.
Daftar Gunung Berapi di
Indonesia (disusun berdasarkan letak)
Gunung di Papua (14 buah - termasuk puncak-puncaknya)
Gunung Puncak Carstenz Pyramid(4,884 m.dpl) merupakan gunung tertinggi di
Indonesia.
Gunung Puncak Jaya(4,860 m.dpl)
Gunung Puncak Trikora(4,730 m.dpl)
Gunung Puncak Idenberg (4,643 m.dpl)
Gunung Dom (1,332 m.dpl)
Gunung Derabaro (4,150 m.dpl)
Gunung Yamin (4,595 m.dpl)
Gunung Yaramamafaka (3,370 m.dpl)
Gunung Redoura (3,083 m.dpl)
Gunung Togwomeri (2,680 m.dpl)
Gunung Mandala (4,640 m.dpl)
Gunung Ngga Pilimsit(4,717 m.dpl)
Gunung Foja (1,800 m.dpl)
Gunung Cyrcloop (2,034 m.dpl)
Gunung di Jawa (37 buah)
Gunung Anjasmara (2.277 m)
Gunung Argapura (3.088 m)
Gunung Arjuno (3.339 m)
Gunung Bromo (2.392 m)
Gunung Bukit Tunggul (2.208 m)
Burangrang (2.057 m)
Gunung Ciremay/Cereme (3.078 m)
Gunung Cikuray (2.818 m)
Gunung Galunggung (2.167 m)
Gunung Gede (2.958 m)
Gunung Guntur (2.249 m)
Gunung Karang (1.245 m) sekitar 40 KM selatan Pandeglang
Gunung Kembar I (3.052 m)
Gunung Kembar II (3.126 m)
Gunung Krakatau
Gunung Lasem (806 m) Rembang Jawa Tengah
Gunung Lawu (3.245 m)
Gunung Semeru (3.676m) gunung tertinggi di pulau Jawa dan gunung berapi
ketiga tertinggi di Indonesia
Gunung Malabar (2.343 m)
Gunung Masigit (2.078 m)
Gunung Merapi (2.911 m)
Gunung Merbabu (3.145 m)
Gunung Muria (1.602 m)
Gunung Pangrango (3.019 m)
Gunung Papandayan (2.665 m)
Gunung Patuha (2.386 m)
Gunung Penanggungan (1.653 m)
Gunung Raung (3.332 m)
Gunung Salak (2.211 m)
Gunung Slamet (3.432 m)
Gunung Sumbing (3.336 m)
Gunung Sundara (3.150 m)
Gunung Tangkuban Perahu (2.084 m)
Gunung Ungaran (2,050 m)
Gunung Wayang (2.181 m)
Gunung Welirang (3.156 m)
Gunung Wilis (2.552 m)
Gunung Kelud (1.350 m)
Gunung di Kalimantan (4 buah)
Gunung Palung (1.116 m) Kalimantan Barat
Gunung Raya (2.278 m) Kalimantan Tengah
Gunung Liangpran (2.240 m) Kalimantan Timur
Gunung Halau (1.892 m) Kalimantan Selatan
Gunung di Sulawesi (10 buah)
Gunung Awu (1.320 m) Kepulauan Sangihe
Gunung Lokon (1.689 m)
Gunung Klabat(1995 mdpl)
Gunung Mekongga (2.620 m)
Gunung Mahawu (1311 mdpl)
Gunung Bawakaraeng (2.705 m)
Gunung Latimojong (3.478 m)
Gunung Lokon (1580 mdpl)
Gunung Lompobattang (2871 m)
Gunung Soputan (1783 m)
Gunung di Sumatra (13 buah)
Gunung Dempo (3159 m) Sumatra Selatan
Gunung Kerinci (3.805 m) Jambi gunung tertinggi di Sumatra, kedua di
Indonesia dan gunung berapi tertinggi di Indonesia
Gunung Sinabung (2.475 m) Sumatra Utara
Gunung Sibayak (2.212 m) Sumatra Utara
Gunung Pesagi (2.262 m) Lampung
Gunung Singgalang (2.877 m) Sumatra Barat
Gunung Marapi (2,891.3 m) Sumatra Barat
Gunung Talamau (2,912 m) Sumatra Barat
Gunung Tandikat (2438 m) Sumatra Barat
Gunung Leuser (3172 m) NAD
Gunung Perkison (2300 m) NAD
Gunung Talang (2600 m) Sumatra Barat
Gunung Sago (2500 m) Sumatra Barat
Bali & Nusa Tenggara (20 buah)
Gunung Agung (3.142 m) di Bali
Gunung Ebulolobo (2,123)
Gunung Inielika (1,559)
Gunung Kondo (2,947)
Gunung Nangi (2,330)
Gunung Rinjani (3.726 m) di Lombok, gunung berapi kedua tertinggi di
Indonesia
Gunung Sangeang (1,949)
Gunung Tambora (2.850 m) di pulau Sumbawa
Gunung Anak Ranakah (2,402)
Gunung Ebulabo (2,123)
Gunung Egon (1,703)
Gunung Iliboleng (1,659)
Gunung Iliwerung (1,486)
Gunung Inerie (2,230)
Gunung Keknemo (2,070)
Gunung Kelimutu (1,385)
Gunung Lewotobi Laki-laki (1,584)
Gunung Lewotobi Perempuan (1,703)
Gunung Lewotolo (1,319)
Gunung Loreboleng (1,117)
3.
Tanah longsor
4.
Banjir
5.
Arus laut dan ombak besar
6.
Tsunami
7.
Kekeringan
8.
Kebakaran hutan
9.
Bencana angin: badai tropis dan puting bliung
10.
Gas beracun
E.
Usaha-Usaha
Penanggulangan Risiko Bencana Alam
Kerusakan lingkungan semakin hari semakin
terlihat jelas. Perlu kitanya kita memikirkan upaya apa saja yang akan kita
lakukan untuk memperbaiki lingkungan kita agar terciptanya K3 (ketertiban,
kebersihan, dan keindahan). Langkah awal melakukan perbaikan dapat dilakukan
dengan cara memperhatikan keadaan lingkungan sekitar kita dahulu, baru kemudian
lingkup nasional.
a.
Upaya-upaya Penanggulangan Bencana Alam
·
Mitigasi
Mitigasi dapat juga diartikan sebagai penjinak bencana
alam, dan pada prinsipnya mitigasi adalah usaha-usaha baik bersifat persiapan
fisik, maupun non-fisik dalam menghadapi bencana alam. Persiapan fisik dapat
berupa penataan ruang kawasan bencana dan kode bangunan, sedangkan persiapan
non-fisik dapat berupa pendidikan tentang bencana alam.
- Menempatkan Korban di Suatu
Tempat yang Aman
Menempatkan korban di suatu tempat yang aman
adalah hal yang mutlak diperlukan. Sesuai dengan deklarasiHyogo yang
ditetapkan pada Konferensi Dunia tentang Pengurangan
Bencana, di Kobe, Jepang,pertengahan Januari 2005 yang
lalu. Berbunyi : “Negara-negara mempunyai tanggung jawab utama untuk melindungi
orang-orang dan harta benda yang berada dalam wilayah kewenangan dan dari
ancaman dengan memberikan prioritas yang tinggi kepada pengurangan resiko
bencana dalam kebijakan nasional, sesuai dengan kemampuan mereka dan sumber
daya yang tersedia kepada mereka”.
- Membentuk Tim Penanggulangan
Bencana
- Memberikan
Penyuluhan-penyuluhan
- Merelokasi Korban Secara
Bertahap
Akibat kompleknya permasalahan pascabencana,
maka dibuatlah panduan internasional mengenai prinsip-prinsip perlindungan
pengungsi. Sebagai contoh, misalnya pasal 18 ayat (2) , Pasal 23 dinyatakan
setiap manusia memiliki hak atas pendidikan ayat (1) dan pada ayat (2) dan
masih banyak lagi pasal lain yang menekankan perlunya ditindaklanjuti pemberian
perlindungan terhadap para pengungsi, baik yang disebabkan oleh bencana alam
atau ulah manusia, termasuk konflik bersenjata atau perang.
b.
Upaya-Upaya Pencegahan Bencana Alam
·
Membuat Pos Peringatan Bencana
Salah satu upaya
yang keudian dapat diupayakan adalah dengan mendirikan pos peringatan bencana,
pos inilah yang nantinya menentukan warga masyarakat bisa kembali menempati
tempat tinggalnya atau tidak.
·
Membisaakan Hidup Tertib dan Disiplin
Perlu pola
hidup tertib, yaitu dengan menegakkan peraturan-peraturan yang berhubungan
dengan pelestarian lingkungan hidup. Asal masyarakat menaatinya, berarti
setidaknya kita telah berpartisipasi dalam melestarikan lingkungan. Masyarakat
juga harus disiplin.
·
Memberikan Pendidikan tentang Lingkungan Hidup
Faktor ini
telah dipertegas dalam Konferensi Dunia tentang Langkah Pengurangan Bencana
Alam, yang diselenggarakan lebih dari stu dasawarsa silam, 23-27 Mei 1994 di
Yokohama, Jepang. Forum ini, pada masa itu merupakan forum terbesar tentang
bencana alam yang pernah diselenggarakan sepanjang sejarah. Tercatat lebih dari
5.000 peserta hadir yang berasal dari 148 negara.
F.
Kelembagaan
Penanggulangan Bencana Alam
Kelembagaan dapat ditinjau dari sisi formal dan
non formal. Secara formal, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
merupakan focal point lembaga pemerintah di tingkat pusat. Sementara itu, focal
point penanggulangan bencana di tingkat provinsi dan kabupaten/kota adalah
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Dari sisi non formal, di dalam penyelenggaraan
PB juga dikenal adanya jejaring dari para pemangku kepentingan untuk mengurangi
risiko bencana. Walaupun tidak secara khusus diatur dalam UU 24/2007 tapi dalam
praktik jejaring tersebut diakomodasi dan dilaksanakan dengan membentuk forum
(platform) baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, masyarakat
basis, dan tematik. Di tingkat nasional, terbentuk Platform Nasional
(Planas) yang terdiri unsur masyarakat sipil, dunia usaha, perguruan tinggi,
media dan lembaga internasional. Selain itu terdapat Forum Masyarakat Sipil,
Forum Lembaga Usaha, Forum PerguruanTinggi PRB (FPT PRB), Forum Media, Forum
Lembaga Internasional. Di tingkat provinsi ada Forum PRB NTT, Forum PRB
Yogyakarta, Forum PRB Sumatera Barat. Saat ini sudah terbentuk sebanyak 10
Forum PRB tingkat provinsi di Indonesia. Selain itu ada forum yang bersifat
tematik, seperti Forum Merapi, Forum Slamet, Forum Bengawan Solo, dan
lain-lain.
Pendanaan
Saat ini kebencanaan bukan hanya isu lokal atau
nasional, tetapi melibatkan internasional. Komunitas internasional mendukung
Pemerintah Indonesia dalam membangun manajemen penanggulangan bencana menjadi
lebih baik. Di sisi lain, kepedulian dan keseriusan Pemerintah Indonesia
terhadap masalah bencana sangat tinggi dengan dibuktikan dengan penganggaran
yang signifikan khususnya untuk pengarusutamaan pengurangan risiko bencana
dalam pembangunan.
Berikut beberapa pendanaan yang terkait dengan
penanggulangan bencana di Indonesia:
1.
Dana DIPA (APBN/APBD)
2.
Dana Kontijensi
3.
Dana On-call
4.
Dana Bantual Sosial Berpola Hibah
5.
Dana yang bersumber dari masyarakat
6.
Dana dukungan komunitas internasional
a.
Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB)
· Sejarah
dan Visi Misi BNPB
Sejarah Lembaga Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) terbentuk tidak terlepas dari perkembangan penanggulangan
bencana pada masa kemerdekaan hingga bencana alam berupa gempa bumi dahsyat di
Samudera Hindia pada abad 20. Sementara itu, perkembangan tersebut sangat
dipengaruhi pada konteks situasi, cakupan dan paradigma penanggulangan bencana.
Melihat kenyataan saat ini, berbagai bencana yang dilatarbelakangi kondisi
geografis, geologis, hidrologis, dan demografis mendorong Indonesia untuk
membangun visi untuk membangun ketangguhan bangsa dalam menghadapi bencana.
Wilayah Indonesia merupakan gugusan kepulauan
terbesar di dunia. Wilayah yang juga terletak di antara benua Asia dan
Australia dan Lautan Hindia dan Pasifik ini memiliki 17.508 pulau. Meskipun
tersimpan kekayaan alam dan keindahan pulau-pulau yang luar biasa, bangsa
Indonesia perlu menyadari bahwa wilayah nusantara ini memiliki 129 gunung api
aktif, atau dikenal dengan ring of fire, serta terletak pada pertemuan
tiga lempeng tektonik aktif dunia yaitu Lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan
Pasifik.
Ring of fire dan berada di pertemuan tiga
lempeng tektonik menempatkan negara kepulauan ini berpotensi terhadap ancaman
bencana alam. Di sisi lain, posisi Indonesia yang berada di wilayah tropis
serta kondisi hidrologis memicu terjadinya bencana alam lainnya, seperti angin
puting beliung, hujan ekstrim, banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Tidak
hanya bencana alam sebagai ancaman, tetapi juga bencana non alam sering melanda
tanah air seperti kebakaran hutan dan lahan, konflik sosial, maupun kegagalan
teknologi.
Menghadapi ancaman bencana tersebut, Pemerintah
Indonesia berperan penting dalam membangun sistem penanggulangan bencana di
tanah air. Pembentukan lembaga merupakan salah satu bagian dari sistem yang
telah berproses dari waktu ke waktu. Lembaga ini telah hadir sejak kemerdekaan
dideklarasikan pada tahun 1945 dan perkembangan lembaga penyelenggara
penanggulangan bencana dapat terbagi berdasarkan periode waktu sebagai berikut.
1945 - 1966
Pemerintah
Indonesia membentuk Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP). Badan yang
didirikan pada 20 Agustus 1945 ini berfokus pada kondisi situasi perang pasca
kemerdekaan Indonesia. Badan ini bertugas untuk menolong para korban perang dan
keluarga korban semasa perang kemerdekaan.
1966 - 1967
Pemerintah
membentuk Badan Pertimbangan Penanggulangan Bencana Alam Pusat (BP2BAP) melalui
Keputusan Presiden Nomor 256 Tahun 1966. Penanggung jawab untuk lembaga ini
adalah Menteri Sosial. Aktivitas BP2BAP berperan pada penanggulangan tanggap
darurat dan bantuan korban bencana. Melalui keputusan ini, paradigma
penanggulangan bencana berkembang tidak hanya berfokus pada bencana yang
disebabkan manusia tetapi juga bencana alam.
1967 - 1979
Frekuensi
kejadian bencana alam terus meningkat. Penanganan bencana secara serius dan
terkoordinasi sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, pada tahun 1967 Presidium
Kabinet mengeluarkan Keputusan Nomor 14/U/KEP/I/1967 yang bertujuan untuk
membentuk Tim Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (TKP2BA).
1979 - 1990
Pada periode
ini Tim Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (TKP2BA) ditingkatkan
menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (Bakornas PBA)
yang diketuai oleh Menkokesra dan dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 28
tahun 1979. Aktivitas manajemen bencana mencakup pada tahap pencegahan,
penanganan darurat, dan rehabilitasi. Sebagai penjabaran operasional dari
Keputusan Presiden tersebut, Menteri Dalam Negeri dengan instruksi Nomor 27
tahun 1979 membentuk Satuan Koordinasi Pelaksanaan Penanggulangan Bencana Alam
(Satkorlak PBA) untuk setiap provinsi.
1990 - 2000
Bencana tidak
hanya disebabkan karena alam tetapi juga non alam serta sosial. Bencana non
alam seperti kecelakaan transportasi, kegagalan teknologi, dan konflik sosial
mewarnai pemikiran penanggulangan bencana pada periode ini. Hal tersebut yang
melatarbelakangi penyempurnaan Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana
Alam menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB).
Melalui Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1990, lingkup tugas dari Bakornas PB
diperluas dan tidak hanya berfokus pada bencana alam tetapi juga non alam dan
sosial. Hal ini ditegaskan kembali dengan Keputusan Presiden Nomor 106 Tahun
1999. Penanggulangan bencana memerlukan penanganan lintas sektor, lintas
pelaku, dan lintas disiplin yang terkoordinasi.
2000 - 2005
Indonesia
mengalami krisis multidimensi sebelum periode ini. Bencana sosial yang terjadi
di beberapa tempat kemudian memunculkan permasalahan baru. Permasalahan
tersebut membutuhkan penanganan khusus karena terkait dengan pengungsian. Oleh
karena itu, Bakornas PB kemudian dikembangkan menjadi Badan Koordinasi Nasional
Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP). Kebijakan
tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2001 yang kemudian
diperbaharui dengan Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2001.
2005 - 2008
Tragedi gempa
bumi dan tsunami yang melanda Aceh dan sekitarnya pada tahun 2004 telah
mendorong perhatian serius Pemerintah Indonesia dan dunia internasional dalam
manajemen penanggulangan bencana. Menindaklanjuti situasi saat iu, Pemerintah
Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2005 tentang Badan
Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas PB). Badan ini memiliki fungsi
koordinasi yang didukung oleh pelaksana harian sebagai unsur pelaksana
penanggulanagn bencana. Sejalan dengan itu, pendekatan paradigma pengurangan
resiko bencana menjadi perhatian utama.
2008
Dalam merespon
sistem penanggulangan bencana saat itu, Pemerintah Indonesia sangat serius
membangun legalisasi, lembaga, maupun budgeting. Setelah dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, pemerintah
kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB). BNPB terdiri atas kepala, unsur pengarah
penanggulangan bencana, dan unsur pelaksana penanggulangan bencana. BNPB
memiliki fungsi pengkoordinasian pelaksanaan kegiataan penanggulangan bencana
secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.
Metamorfosa
terbentuknya Badan Nasional Penanggulangan Bencana dari tahun 1945 sampai
sekarang
·
VISI
Ketangguhan bangsa dalam menghadapi bencana.
·
MISI
a.
Melindungi bangsa dari ancaman bencana melalui
pengurangan risiko
b.
Membangun sistem penanggulangan bencana yang
handal
c.
Menyelenggarakan penanggulangan bencana secara
terencana, terpadu, terkoordinir, dan menyeluruh
· TUGAS
BNPB
a.
Memberikan pedoman dan pengarahan usaha
penanggulangan bencana
b.
Menetapkan standardisasi dan kebutuhan PB
c.
Menyampaikan informasi kepada masyarakat
d.
Melaporkan penyelenggaraan PB kepada Presiden
setiap bulan
e.
Menggunakan dan mempertanggungjawaban
sumbangan/bantuan nasional & internasional
f.
Mempertanggungjawaban penggunaan anggaran
g.
Melaksanakan kewajiban lain sesuai peraturan
perundangan
h.
Menyusun pedoman pembentukan BPBD
b.
Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) adalah lembaga pemerintah non-departemen yang melaksanakan
tugas penanggulangan bencana di daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota
dengan berpedoman pada kebijakan yang ditetapkan oleh Badan Koordinasi
Nasional Penanggulangan Bencana. BPBD dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden
Nomor 8 Tahun 2008, menggantikan Satuan Koordinasi Pelaksana Penanganan
Bencana (Satkorlak) di tingkat Provinsi dan Satuan Pelaksana
Penanganan Bencana (Satlak PB) di tingkat Kabupaten/Kota, yang keduanya
dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2005.
No comments:
Post a Comment