BIOGRAFI TUANKU IMAM BONJOL
Lahir
di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat 1772 – wafat dalam pengasingan dan dimakamkan
di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864, adalah salah seorang ulama,
pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda, peperangan itu dikenal
dengan nama Perang Padri di tahun 1803-1837. Tuanku Imam Bonjol diangkat
sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor
087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.
Riwayat
perjuangan : Perang Padri
Tak dapat dimungkiri, Perang Padri
meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama
sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berbunuhan adalah
sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini
didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di Kerajaan Pagaruyung untuk
menerapkan dan menjalan syariat Islam sesuai dengan Mazhab Wahabi yang waktu
itu berkembang di tanah Arab (Arab Saudi sekarang). Kemudian pemimpin ulama
yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak
Raja Pagaruyung Sultan Muning Alamsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan
beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam.
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata
sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring
itu dibeberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya
Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun
1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Muning
Alamsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat resmi
menyerahkan wilayah darek (pedalaman Minangkabau) kepada Belanda dalam
perjanjian yang diteken di Padang, sebagai kompensasi kepada Belanda yang
bersedia membantu melawan kaum Padri. Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa
keluarga Dinasti Kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam
Bagagar yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Padri.
Campur tangan Belanda dalam perang itu
ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet
dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di
Padang. Dalam hal ini Kompeni melibatkan diri dalam perang karena “diundang”
oleh kaum Adat.
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan
paderi cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya.
Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak
pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk
berdamai dengan maklumat “Perjanjian Masang” pada tahun 1824. Hal ini dimaklumi
karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan
lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian
ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang Nagari Pandai Sikek.
Penangkapan
dan Pengasingan
Setelah datang bantuan dari Batavia, maka
Belanda mulai melanjutkan kembali pengepungan, dan pada masa-masa selanjutnya,
kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia masih tak sudi untuk
menyerah kepada Belanda. Sehingga sampai untuk ketiga kali Belanda mengganti
komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan
benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit.
Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama
dikepung.
Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam
Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba di tempat itu langsung
ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan
akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal
dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat
pengasingannya tersebut.
No comments:
Post a Comment