BIOGRAFI ABU HANIFAH
Nama:
|
Abu Hanifah
|
Lahir:
|
80 H. / 699 M.
|
Meninggal:
|
148 H. / 767 M.
|
Aliran/tradisi:
|
|
Minat utama:
|
|
Gagasan penting:
|
|
Dipengaruhi:
|
|
Mempengaruhi:
|
·
Identitas Pibadi
Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi (bahasa Arab: النعمان بن ثابت),
lebih dikenal dengan nama Abū Ḥanīfah, (bahasa Arab: أبو حنيفة) (lahir di Kufah, Irak pada 80 H
/ 699 M
— meninggal di Baghdad, Irak, 148 H
/ 767 M)
merupakan pendiri dari Madzhab Yurisprudensi Islam Hanafi.
Abu Hanifah juga merupakan seorang Tabi’in, generasi setelah
Sahabat nabi, karena dia pernah bertemu dengan salah seorang sahabat bernama Anas
bin Malik, dan meriwayatkan hadis darinya serta sahabat lainnya.[3]
Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali
menyusun kitab fiqh berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah),
shalat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama
sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan lainnya.
Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit al-Kufiy merupakan
orang yang faqih di negeri Irak, salah satu imam dari kaum muslimin, pemimpin
orang-orang alim, salah seorang yang mulia dari kalangan ulama dan salah satu
imam dari empat imam yang memiliki madzhab.
Nasab dan Kelahirannya bin Tsabit bin Zuthi (ada yang
mengatakan Zutha) At-Taimi Al-Kufi. Beliau adalah Abu Hanifah An-Nu’man
Taimillah bin Tsa’labah. Beliau berasal dari keturunan bangsa persi. Beliau
dilahirkan pada tahun 80 H pada masa shigharus shahabah dan para ulama
berselisih pendapat tentang tempat kelahiran Abu Hanifah, menurut penuturan
anaknya Hamad bin Abu Hadifah bahwa Zuthi berasal dari kota Kabul dan dia
terlahir dalam keadaan Islam. Adapula yang mengatakan dari Anbar, yang lainnya
mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi mengatakan dari Babilonia.
·
Perkembangannya
Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah
cucunya menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi mengunjungi Ali
Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada dirinya dan
keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah
subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah
At-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan dia punya
toko untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.
Abu Hanifah itu tinggi badannya sedang, memiliki postur
tubuh yang bagus, jelas dalam berbicara, suaranya bagus dan enak didengar,
bagus wajahnya, bagus pakaiannya dan selalu memakai minyak wangi, bagus dalam
bermajelis, sangat kasih sayang, bagus dalam pergaulan bersama rekan-rekannya,
disegani dan tidak membicarakan hal-hal yang tidak berguna.
Beliau disibukkan dengan mencari atsar/hadits dan juga
melakukan rihlah untuk mencari hal itu. Dan beliau ahli dalam bidang fiqih,
mempunyai kecermatan dalam berpendapat, dan dalam permasalahan-permasalahan
yang samar/sulit maka kepada beliau akhir penyelesaiannya.
Beliau sempat bertemu dengan Anas bin Malik tatkala datang
ke Kufah dan belajar kepadanya, beliau juga belajar dan meriwayat dari ulama
lain seperti Atha’ bin Abi Rabbah yang merupakan syaikh besarnya, Asy-Sya’bi,
Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj al-A’raj, Amru bin Dinar, Thalhah bin
Nafi’, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di’amah, Qois bin Muslim, Abdullah
bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman guru fiqihnya, Abu Ja’far Al-Baqir, Ibnu
Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Munkandar, dan masih banyak lagi. Dan ada yang
meriwayatkan bahwa beliau sempat bertemu dengan 7 sahabat.
Beliau pernah bercerita, tatkala pergi ke kota Bashrah, saya
optimis kalau ada orang yang bertanya kepadaku tentang sesuatu apapun saya akan
menjawabnya, maka tatkala di antara mereka ada yang bertanya kepadaku tentang
suatu masalah lantas saya tidak mempunyai jawabannya, maka aku memutuskan untuk
tidak berpisah dengan Hamad sampai dia meninggal, maka saya bersamanya selama
10 tahun.
Pada masa pemerintahan Marwan salah seorang raja dari Bani
Umayyah di Kufah, beliau didatangi Hubairoh salah satu anak buah raja Marwan
meminta Abu Hanifah agar menjadi Qodhi (hakim) di Kufah akan tetapi beliau
menolak permintaan tersebut, maka beliau dihukum cambuk sebanyak 110 kali
(setiap harinya dicambuk 10 kali), tatkala dia mengetahui keteguhan Abu Hanifah
maka dia melepaskannya.
Adapun orang-orang yang belajar kepadanya dan meriwayatkan
darinya di antaranya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Abul Hajaj
di dalam Tahdzibnya berdasarkan abjad diantaranya Ibrahin bin Thahman seorang
alim dari Khurasan, Abyadh bin Al-Aghar bin Ash-Shabah, Ishaq al-Azroq, Asar
bin Amru Al-Bajali, Ismail bin Yahya Al-Sirafi, Al-Harits bin Nahban, Al-Hasan
bin Ziyad, Hafsh binn Abdurrahman al-Qadhi, Hamad bin Abu Hanifah, Hamzah
temannya penjual minyak wangi, Dawud Ath-Thai, Sulaiman bin Amr An-Nakhai,
Su’aib bin Ishaq, Abdullah ibnul Mubarok, Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi,
Abdul karim bin Muhammad al-Jurjani, Abdullah bin Zubair al-Qurasy, Ali bin
Zhibyan al-Qodhi, Ali bin Ashim, Isa bin Yunus, Abu Nu’aim, Al-Fadhl bin Musa,
Muhammad bin Bisyr, Muhammad bin Hasan Assaibani, Muhammad bin Abdullah
al-Anshari, Muhammad bin Qoshim al-Asadi, Nu’man bin Abdus Salam al-Asbahani,
Waki’ bin Al-Jarah, Yahya bin Ayub Al-Mishri, Yazid bin Harun, Abu Syihab
Al-Hanath Assamaqondi, Al-Qodhi Abu Yusuf, dan lain-lain.
·
Madhab Hanafi
Mazhab Hanafi ialah salah satu mazhab fiqh dalam Islam Sunni. Mazhab ini didirikan oleh Imam Hanafi, dan terkenal sebagai mazhab yang paling terbuka kepada
idea modern. Mazhab ini diamalkan terutama sekali di kalangan orang Islam Sunni
Mesir, Turki, anak-benua
India, Tiongkok dan sebagian Afrika Barat, walaupun pelajar Islam seluruh
dunia belajar dan melihat pendapatnya mengenai amalan Islam. Mazhab Hanafi
merupakan mazhab terbesar dengan 30% pengikut.
Kehadiran mazhab-mazhab ini mungkin tidak bisa dilihat
sebagai perbedaan mutlak seperti dalam agama Kristen (Protestan dan Katolik) dan beberapa agama lain. Sebaliknya ini merupakan
perbedaan melalui pendapat logika dan ide dalam memahami Islam. Perkara pokok seperti akidah atau
tauhid masih sama dan tidak berubah.
·
Beberapa nasehat Imam Abu Hanifah
Beliau adalah termasuk imam yang pertama-tama berpendapat
wajibnya mengikuti Sunnah dan meninggalkan pendapat-pendapatnya yang
menyelisihi sunnah. dan sungguh telah diriwayatkan dari Abu Hanifah oleh para
sahabatnya pendapat-pendapat yang jitu dan dengan ibarat yang berbeda-beda,
yang semuanya itu menunjukkan pada sesuatu yang satu, yaitu wajibnya mengambil
hadits dan meninggalkan taqlid terhadap pendapat para imam yang menyelisihi
hadits. Diantara nasehat beliau adalah:
- Apabila telah shahih sebuah
hadits maka hadits tersebut menjadi madzhabku
Berkata Syaikh Nashirudin Al-Albani, “Ini merupakan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam. Dan para imam telah memberi isyarat bahwa mereka tidak mampu untuk menguasai, meliput sunnah/hadits secara keseluruhan”. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Syafii, “maka terkadang diantara para imam ada yang menyelisihi sunnah yang belum atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka memerintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikan sunah tersebut termasuk madzhab mereka semuanya”. - Tidak halal bagi seseorang
untuk mengambil/memakai pendapat kami selama dia tidak mengetahui dari
dalil mana kami mengambil pendapat tersebut. dalam riwayat lain, haram
bagi orang yang tidak mengetahui dalilku, dia berfatwa dengan pendapatku.
Dan dalam riawyat lain, sesungguhnya kami adalah manusia biasa, kami
berpendapat pada hari ini, dan kami ruju’ (membatalkan) pendapat tersebut
pada pagi harinya. Dan dalam riwayat lain, Celaka engkau wahai Ya’qub (Abu
Yusuf), janganlah engakau catat semua apa-apa yang kamu dengar dariku,
maka sesungguhnya aku berpendapat pada hari ini denga suatu pendapat dan
aku tinggalkan pendapat itu besok, besok aku berpendapat dengan suatu
pendapat dan aku tinggalkan pendapat tersebut hari berikutnya.
Syaikh Al-Albani berkata, “Maka apabila demikian perkataan
para imam terhadap orang yang tidak mengetahui dalil mereka. maka ketahuilah!
Apakah perkataan mereka terhadap orang yang mengetahui dalil yang menyelisihi
pendapat mereka, kemudian dia berfatwa dengan pendapat yang menyelisishi dalil
tersebut? maka camkanlah kalimat ini! Dan perkataan ini saja cukup untuk
memusnahkan taqlid buta, untuk itulah sebaigan orang dari para masyayikh yang
diikuti mengingkari penisbahan kepada Abu Hanifah tatkala mereka mengingkari
fatwanya dengan berkata “Abu Hanifah tidak tahu dalil”!.
Berkata Asy-sya’roni dalam kitabnya Al-Mizan 1/62 yang
ringkasnya sebagai berikut, “Keyakinan kami dan keyakinan setiap orang yang
pertengahan (tidak memihak) terhadap Abu Hanifah, bahwa seandainya dia hidup
sampai dengan dituliskannya ilmu Syariat, setelah para penghafal hadits
mengumpulkan hadits-haditsnya dari seluruh pelosok penjuru dunia maka Abu
Hanifah akan mengambil hadits-hadits tersebut dan meninggalkan semua
pendapatnya dengan cara qiyas, itupun hanya sedikit dalam madzhabnya
sebagaimana hal itu juga sedikit pada madzhab-madzhab lainnya dengan penisbahan
kepadanya. Akan tetapi dalil-dalil syari terpisah-pesah pada zamannya dan juga
pada zaman tabi’in dan atbaut tabiin masih terpencar-pencar disana-sini. Maka
banyak terjadi qiyas pada madzhabnya secara darurat kalaudibanding dengan para
ulama lainnya, karena tidak ada nash dalam permasalahan-permasalahan yang
diqiyaskan tersebut. berbeda dengan para imam yang lainnya, …”. Kemudia syaikh
Al-Albani mengomentari pernyataan tersebut dengan perkataannya, “Maka apabila
demikian halnya, hal itu merupakan udzur bagi Abu Hanifah tatkala dia
menyelisihi hadits-hadits yang shahih tanpa dia sengaja – dan ini merupaka
udzur yang diterima, karena Allah tidak membebani manusia yang tidak
dimampuinya -, maka tidak boleh mencela padanya sebagaimana yang dilakukan
sebagian orang jahil, bahkan wajib beradab dengannya karena dia merupakan salah
satu imam dari imam-imam kaum muslimin yang dengan mereka terjaga agama ini.
…”.
Apabila saya mengatakan sebuah
pendapat yang menyelisihi kitab Allah dan hadits Rasulullah yang shahih,
maka tinggalkan perkataanku.
·
Wafatnya
Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke-2, Abu Hanifah dipanggil kehadapannya untuk diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan raja tersebut – karena Abu Hanifah hendak menjahui harta dan kedudukan dari sulthan (raja) – maka dia ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara dan wafat dalam penjara.
Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke-2, Abu Hanifah dipanggil kehadapannya untuk diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan raja tersebut – karena Abu Hanifah hendak menjahui harta dan kedudukan dari sulthan (raja) – maka dia ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara dan wafat dalam penjara.
Dan beliau
wafat pada bulan Rajab pada tahun 150 H dengan usia 70 tahun, dan dia
dishalatkan banyak orang bahkan ada yang meriwayatkan dishalatkan sampai 6
kloter.
No comments:
Post a Comment