MAKALAH FIQIH
Disusun Oleh :
Kelas IX E
Anggota : 1. M. Hidayat
2. M. Iqbal Pratama
3. Abdul Aziz
4. Nuril Alfiani
5. Khoerunnisa
6. Natalia Oktafiana
7. Shevia Intan Sahara
8. Liya Amalia
9. Lilis Maryanti
10. Sulistya Cahya Ningrum
11. Widyani Fazrin Nabila
MTs. NEGERI 6 CIREBON
Kecamatan Karangsembung Kabupaten Cirebon
Tahun 2016/2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ibadah
berqurban adalah antara amalan mulia dan penting dalam Islam karena amat besar
fadhilatnya, tetapi sayangnya masih banyak orang yang samar-samar atau kabur
kefahaman menerka mengenainya, sehingga ada yang memandang ringan walaupun
mempunyai kemampuan tetapi tidak mahu melakukan penyembelihan qorban dan aqiqah
ini.
Begitulah
masalah berqurban yang akan coba kita jelaskan. Semoga dengan penjelasan yang
serba sedikit ini dapat membantu kefahaman kita semua tentang ibadah Qurban
serta keinginan untuk sama-sama mencari pahala kedua ibadah ini akan meningkat.
Dan semoga memberi kefahaman yang jelas hingga kita dapat menghayatinya dengan
penuh keimanan kerana menjunjung perintah Allah s.w.t. dan mendapat fadhilat
daripada amalan yang akan kita lakukan ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian kurban?
2. Apakah hukum kurban?
3. Apakah keutamaan kurban?
4. Kapan Waktu dan Tempat
kurban ?
5. Seperti apa Jenis Hewan
Kurban ?
6. Bagaimana Teknik
Penyembelihan Hewan Kurban ?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian
kurban.
2. Mengetahui hukum kurban.
3. Mengetahui keutamaan
kurban.
4. Mengetahui Kapan waktu dan
tempat kurban.
5. Mengetahui Jenis kurban.
6. Mengetahui Bagaimana Teknik
Penyembelihan Hewan Kurban.
D. Kegunaan Penelitian
1.
Bagi Penulis
Bagi
penulis, seluruh rangkaian kegiatan dan hasil penelitian diharapkan dapat lebih
memantapkan penguasaan keilmuan yang dipelajari selama mengikuti pembelajaran
di sekolah.
2.
Bagi Sekolah
Bagi
Sekolah, hasil penelitian diharapkan dapat menjadi dokumen sekolah yang berguna
untuk dijadikan acuan bagi siswa lainya.
E. Metode dan Teknik Kegiatan
Informasi
yang disajikan dalam pembuatan makalah ini, merupakan hasil dari proses
pencarian data yang dilakukan baik selama riset lapangan maupun diluar dari
kegiatan itu. Kecuali informasi yang bersifat sebagai opini, yang bersumber
dari ilmuu yang di dapat selama proses pembelajaran di sekolah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qurban
Kata
kurban atau korban, berasal dari bahasa Arab qurban, diambil dari kata : qaruba
(fi’il madhi) – yaqrabu (fi’il mudhari’) – qurban wa qurbaanan
(mashdar).Artinya, mendekati atau menghampiri (Matdawam, 1984).
Menurut
istilah, qurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri
kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya (Ibrahim Anis
et.al, 1972).
Dalam
bahasa Arab, hewan kurban disebut juga dengan istilah udh-hiyah atau
adh-dhahiyah , dengan bentuk jamaknya al adhaahi. Kata ini diambil dari kata
dhuha, yaitu waktu matahari mulai tegak yang disyariatkan untuk melakukan
penyembelihan kurban, yakni kira-kira pukul 07.00 – 10.00 (Ash Shan’ani,
Subulus Salam IV/89).
Udh-hiyah
adalah hewan kurban (unta, sapi, dan kambing) yang disembelih pada hari raya
Qurban dan hari-hari tasyriq sebagai taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah
(Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah XIII/155; Al Jabari, 1994).
B. Dasar Hukum Qurban
Qurban
hukumnya sunnah, tidak wajib. Imam Malik, Asy Syafi’i, Abu Yusuf, Ishak bin
Rahawaih, Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm dan lainnya berkata, “Qurban itu hukumnya
sunnah bagi orang yang mampu (kaya), bukan wajib, baik orang itu berada di
kampung halamannya (muqim), dalam perjalanan (musafir), maupun dalam
mengerjakan haji.” (Matdawam, 1984)
Sebagian
mujtahidin –seperti Abu Hanifah, Al Laits, Al Auza’i, dan sebagian pengikut
Imam Malik— mengatakan qurban hukumnya wajib. Tapi pendapat ini dhaif (lemah)
(Matdawam, 1984).
Ukuran
“mampu” berqurban, hakikatnya sama dengan ukuran kemampuan shadaqah, yaitu
mempunyai kelebihan harta (uang) setelah terpenuhinya kebutuhan pokok ( al
hajat al asasiyah) –yaitu sandang, pangan, dan papan– dan kebutuhan penyempurna
(al hajat al kamaliyah) yang lazim bagi seseorang. Jika seseorang masih membutuhkan
uang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka dia terbebas dari
menjalankan sunnah qurban (Al Jabari, 1994)
Dasar
kesunnahan qurban antara lain, firman Allah SWT :
“Maka
dirikan (kerjakan) shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah. ” (TQS Al Kautsar :
2)
“Aku
diperintahkan (diwajibkan) untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi
kamu adalah sunnah.” (HR. At Tirmidzi)
“Telah
diwajibkan atasku (Nabi SAW) qurban dan ia tidak wajib atas kalian.” (HR. Ad
Daruquthni)
Dua
hadits di atas merupakan qarinah (indikasi/petunjuk) bahwa qurban adalah
sunnah. Firman Allah SWT yang berbunyi “wanhar” (dan berqurbanlah kamu) dalam
surat Al Kautas ayat 2 adalah tuntutan untuk melakukan qurban (thalabul fi’li).
Sedang hadits At Tirmidzi, “umirtu bi an nahri wa huwa sunnatun lakum ” (aku
diperintahkan untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah
sunnah), juga hadits Ad Daruquthni ” kutiba ‘alayya an nahru wa laysa
biwaajibin ‘alaykum” (telah diwajibkan atasku qurban dan ia tidak wajib atas
kalian); merupakan qarinah bahwa thalabul fi’li yang ada tidak bersifat jazim
(keharusan), tetapi bersifat ghairu jazim (bukan keharusan). Jadi, qurban itu
sunnah, tidak wajib. Namun benar, qurban adalah wajib atas Nabi SAW, dan itu
adalah salah satu khususiyat beliau (lihat Rifa’i et.al., Terjemah Khulashah
Kifayatul Akhyar, hal. 422).
Orang
yang mampu berqurban tapi tidak berqurban, hukumnya makruh. Sabda Nabi SAW :
“Barangsiapa
yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka janganlah sekali-kali
ia menghampiri tempat shalat kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al Hakim, dari
Abu Hurairah RA. Menurut Imam Al Hakim, hadits ini shahih. Lihat Subulus Salam
IV/91)
Perkataan
Nabi “fa laa yaqrabanna musholaanaa” (janganlah sekali-kali ia menghampiri
tempat shalat kami) adalah suatu celaan (dzamm), yaitu tidak layaknya seseorang
–yang tak berqurban padahal mampu– untuk mendekati tempat sholat Idul Adh-ha.
Namun ini bukan celaan yang sangat/berat (dzamm syanii’ ) seperti halnya
predikat fahisyah (keji), atau min ‘amalisy syaithan (termasuk perbuatan
syetan), atau miitatan jaahiliyatan (mati jahiliyah) dan sebagainya. Lagi pula
meninggalkan sholat Idul Adh-ha tidaklah berdosa, sebab hukumnya sunnah, tidak
wajib. Maka, celaan tersebut mengandung hukum makruh, bukan haram (lihat ‘Atha`
ibn Khalil, Taysir Al Wushul Ila Al Ushul, hal. 24; Al Jabari, 1994).
Namun
hukum qurban dapat menjadi wajib, jika menjadi nadzar seseorang, sebab memenuhi
nadzar adalah wajib sesuai hadits Nabi SAW :
“Barangsiapa
yang bernadzar untuk ketaatan (bukan maksiat) kepada Allah, maka hendaklah ia
melaksanakannya. ” (lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah XIII/157).
Qurban
juga menjadi wajib, jika seseorang (ketika membeli kambing, misalnya)
berkata,”Ini milik Allah, ” atau “Ini binatang qurban.” (Sayyid Sabiq, 1987; Al
Jabari, 1994).
C. Keutamaan Qurban
Berqurban
merupakan amal yang paling dicintai Allah SWT pada saat Idul Adh-ha. Sabda Nabi
SAW :
“Tidak
ada suatu amal anak Adam pada hari raya Qurban yang lebih dicintai Allah selain
menyembelih qurban.” (HR. At Tirmidzi) (Abdurrahman, 1990)
Berdasarkan
hadits itu Imam Ahmad bin Hambal, Abuz Zanad, dan Ibnu Taimiyah
berpendapat,”Menyembelih hewan pada hari raya Qurban, aqiqah (setelah mendapat
anak), dan hadyu (ketika haji), lebih utama daripada shadaqah yang nilainya
sama.” (Al Jabari, 1994).
Tetesan
darah hewan qurban akan memintakan ampun bagi setiap dosa orang yang berqurban.
Sabda Nabi SAW :
“Hai
Fathimah, bangunlah dan saksikanlah qurbanmu. Karena setiap tetes darahnya akan
memohon ampunan dari setiap dosa yang telah kaulakukan.. .” (lihat Sayyid
Sabiq, Fikih Sunnah XIII/165)
D. Waktu dan Tempat Qurban
1. Waktu
Qurban
dilaksanakan setelah sholat Idul Adh-ha tanggal 10 Zulhijjah, hingga akhir hari
Tasyriq (sebelum maghrib), yaitu tanggal 13 Zulhijjah. Qurban tidak sah bila
disembelih sebelum sholat Idul Adh-ha. Sabda Nabi SAW :
“Barangsiapa
menyembelih qurban sebelum sholat Idul Adh-ha (10 Zulhijjah) maka sesungguhnya
ia menyembelih untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa menyembelih qurban
sesudah sholat Idul Adh-ha dan dua khutbahnya, maka sesungguhnya ia telah
menyempurnakan ibadahnya (berqurban) dan telah sesuai dengan sunnah (ketentuan)
Islam.” (HR. Bukhari)
Sabda
Nabi SAW :
“Semua
hari tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah) adalah waktu untuk menyembelih
qurban.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)
Menyembelih
qurban sebaiknya pada siang hari, bukan malam hari pada tanggal-tanggal yang
telah ditentukan itu. Menyembelih pada malam hari hukumnya sah, tetapi makruh.
Demikianlah pendapat para imam seperti Imam Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad,
Abu Tsaur, dan jumhur ulama (Matdawam, 1984)
Perlu
dipahami, bahwa penentuan tanggal 10 Zulhijjah adalah berdasarkan ru`yat yang
dilakukan oleh Amir (penguasa) Makkah, sesuai hadits Nabi SAW dari sahabat
Husain bin Harits Al Jadali RA (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud hadits no.1991).
Jadi, penetapan 10 Zulhijjah tidak menurut hisab yang bersifat lokal (Indonesia
saja misalnya), tetapi mengikuti ketentuan dari Makkah. Patokannya, adalah
waktu para jamaah haji melakukan wukuf di Padang Arafah (9 Zulhijjah), maka
keesokan harinya berarti 10 Zulhijjah bagi kaum muslimin di seluruh dunia.
2. Tempat
Diutamakan,
tempat penyembelihan qurban adalah di dekat tempat sholat Idul Adh-ha dimana
kita sholat (misalnya lapangan atau masjid), sebab Rasulullah SAW berbuat
demikian (HR. Bukhari). Tetapi itu tidak wajib, karena Rasulullah juga
mengizinkan penyembelihan di rumah sendiri (HR. Muslim). Sahabat Abdullah bin
Umar RA menyembelih qurban di manhar, yaitu pejagalan atau rumah pemotongan
hewan (Abdurrahman, 1990).
E. Hewan Qurban
1. Jenis
Hewan
Hewan
yang boleh dijadikan qurban adalah : unta, sapi, dan kambing (atau domba).
Selain tiga hewan tersebut, misalnya ayam, itik, dan ikan, tidak boleh
dijadikan qurban (Sayyid Sabiq, 1987; Al Jabari, 1994). Allah SWT berfirman :
“…supaya
mereka menyebut nama Allah terhadap hewan ternak (bahimatul an’am) yang telah
direzekikan Allah kepada mereka.” (TQS Al Hajj : 34)
Dalam
bahasa Arab, kata bahimatul an’aam (binatang ternak) hanya mencakup unta, sapi,
dan kambing, bukan yang lain (Al Jabari, 1994).
Prof.
Mahmud Yunus dalam kitabnya Al Fiqh Al Wadhih III/3 membolehkan berkurban
dengan kerbau ( jamus), sebab disamakan dengan sapi.
2. Jenis
Kelamin
Dalam
berqurban boleh menyembelih hewan jantan atau betina, tidak ada perbedaan,
sesuai hadits-hadits Nabi SAW yang bersifat umum mencakup kebolehan berqurban
dengan jenis jantan dan betina, dan tidak melarang salah satu jenis kelamin
(Sayyid Sabiq, 1987; Abdurrahman, 1990)
3. Umur
Sesuai
hadits-hadits Nabi SAW, dianggap mencukupi, berqurban dengan kambing/domba
berumur satu tahun masuk tahun kedua, sapi (atau kerbau) berumur dua tahun
masuk tahun ketiga, dan unta berumur lima tahun (Sayyid Sabiq, 1987; Mahmud
Yunus, 1936).
4. Kondisi
Hewan
yang dikurbankan haruslah mulus, sehat, dan bagus. Tidak boleh ada cacat atau
cedera pada tubuhnya. Sudah dimaklumi, qurban adalah taqarrub kepada Allah.
Maka usahakan hewannya berkualitas prima dan top, bukan kualitas sembarangan
(Rifa’i et.al , 1978)
Berdasarkan
hadits-hadits Nabi SAW, tidak dibenarkan berkurban dengan hewan:
1) yang nyata-nyata buta
sebelah,
2) yang nyata-nyata menderita
penyakit (dalam keadaan sakit),
3) yang nyata-nyata pincang
jalannya,
4) yang nyata-nyata lemah
kakinya serta kurus,
5) yang tidak ada sebagian
tanduknya,
6) yang tidak ada sebagian
kupingnya,
7) yang terpotong hidungnya,
8) yang pendek ekornya (karena
terpotong/putus) ,
9) yang rabun matanya.
(Abdurrahman, 1990; Al Jabari, 1994; Sayyid Sabiq. 1987).
Hewan
yang dikebiri boleh dijadikan qurban. Sebab Rasulullah pernah berkurban dengan
dua ekor kibasy yang gemuk, bertanduk, dan telah dikebiri ( al maujuu’ain) (HR.
Ahmad dan Tirmidzi) (Abdurrahman, 1990)
“Dianjurkan
bagi setiap keluarga menyembelih qurban.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, An Nasa`i,
dan Ibnu Majah)
F. Teknis Penyembelihan
Teknis
penyembelihan adalah sebagai berikut :
1) Hewan
yang akan dikurbankan dibaringkan ke sebelah rusuknya yang kiri dengan posisi
mukanya menghadap ke arah kiblat, diiringi dengan membaca doa ” Robbanaa
taqabbal minnaa innaka antas samii’ul ‘aliim.” (Artinya : Ya Tuhan kami,
terimalah kiranya qurban kami ini, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.)
2) Penyembelih
meletakkan kakinya yang sebelah di atas leher hewan, agar hewan itu tidak
menggerak-gerakkan kepalanya atau meronta.
3) Penyembelih
melakukan penyembelihan, sambil membaca : “Bismillaahi Allaahu akbar.” (Artinya
: Dengan nama Allah, Allah Maha Besar). (Dapat pula ditambah bacaan shalawat
atas Nabi SAW. Para penonton pun dapat turut memeriahkan dengan gema takbir
“Allahu akbar!”)
4) Kemudian
penyembelih membaca doa kabul (doa supaya qurban diterima Allah) yaitu :
“Allahumma minka wa ilayka. Allahumma taqabbal min ….” (sebut nama orang yang
berkurban). (Artinya : Ya Allah, ini adalah dari-Mu dan akan kembali kepada-Mu.
Ya Allah, terimalah dari….) (Ad Dimasyqi, 1993; Matdawam, 1984; Rifa’i et.al.,
1978; Rasjid, 1990)
Penyembelihan,
yang afdhol dilakukan oleh yang berqurban itu sendiri, sekali pun dia seorang
perempuan. Namun boleh diwakilkan kepada orang lain, dan sunnah yang berqurban
menyaksikan penyembelihan itu (Matdawam, 1984; Al Jabari, 1994).
Dalam
penyembelihan, wajib terdapat 4 (empat) rukun penyembelihan, yaitu :
1) Adz
Dzaabih (penyembelih) , yaitu setiap muslim, meskipun anak-anak, tapi harus
yang mumayyiz (sekitar 7 tahun). Boleh memakan sembelihan Ahli Kitab (Yahudi
dan Nashrani), menurut mazhab Syafi’i. Menurut mazhab Hanafi, makruh, dan
menurut mazhab Maliki, tidak sempurna, tapi dagingnya halal. Jadi, sebaiknya
penyembelihnya muslim. (Al Jabari, 1994).
2) Adz
Dzabiih, yaitu hewan yang disembelih.Telah diterangkan sebelumnya.
3) Al
Aalah, yaitu setiap alat yang dengan ketajamannya dapat digunakan menyembelih
hewan, seperti pisau besi, tembaga, dan lainnya. Tidak boleh menyembelih dengan
gigi, kuku, dan tulang hewan (HR. Bukhari dan Muslim).
4) Adz
Dzabh, yaitu penyembelihannya itu sendiri. Penyembelihan wajib memutuskan
hulqum (saluran nafas) dan mari` (saluran makanan). (Mahmud Yunus, 1936)
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kami
ingin menutup risalah sederhana ini, dengan sebuah amanah penting : hendaklah
orang yang berqurban melaksanakan qurban karena Allah semata. Jadi niatnya
haruslah ikhlas lillahi ta’ala, yang lahir dari ketaqwaan yang mendalam dalam
dada kita. Bukan berqurban karena riya` agar dipuji-puji sebagai orang kaya,
orang dermawan, atau politisi yang peduli rakyat, dan sebagainya. Sesungguhnya
yang sampai kepada Allah SWT adalah taqwa kita, bukan daging dan darah qurban
kita. Allah SWT berfirman :
“Daging-daging
unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah,
tetapi ketaqwaan daripada kamulah yang mencapainya. ” (TQS Al Hajj : 37)
B. Saran
ü Orang
yang berkurban harus mampu menyediakan hewan sembelihan dengancara halal tanpa
berutang.
ü Kurban
hendaknya binatang ternak, seperti unta, sapi, kambing, atau biri-biri.
ü Binatang
yang akan disembelih tidak memiliki cacat, tidak buta, tidak pincang,
tidak sakit, dan kuping serta ekor harus utuh.
No comments:
Post a Comment