SEKOLAH SEBAGAI TANGAN-TANGAN
PERADABAN MASA DEPAN
(Implementasi Budaya Pluralistik, Inklusif dan
Kontekstual Intelligent School pada SMA)
Manusia
terlahir dengan segala potensi yang dimiliki dan karakteristik yang khas,
potensi dan karakteristik tersebut terlahir tidak akan sama persis dengan
manusia lainnya, hanya satu kesamaannya yaitu manusia terlahir sebagai hamba
Tuhan Yang Maha Esa yaitu Allah SWT. Hakikat manusia dengan keberagaman
tersebut sudah sepantasnya menjadi dasar pembangun dalam segala aspek, tidak
terkecuali pendidikan.
Sekolah
sebagai tangan-tangan peradaban masa depan, harus mampu menjadi wadah dalam
mengelola serta mempersiapkan sumber daya yang memiliki pengetahuan yang cerdas
dan memiliki nilai-nilai yang positif, serta memiliki karakteristik Excellent
Personallity (kepribadian unggul).
Kenyataan
yang berkembang di Indonesia, umumnya sekolah belum begitu mampu menerapkan
atau bahkan menghargai perbedaan yang ada di masyarakat sehingga semakin
pesatnya konflik yang bersumber dari perbedaan agama, ras, suku, ide, politik
dan lain-lain. Kenyataannya sekarang masih jarang ditemukan sekolah yang mampu
menempatkan keberagaman sebagai pondasi dalam mewujudkan pendidikan yang
bernilai.
Pengembangan
budaya pluralistik, inklusi ataupun kontekstual harus mampu dikembangkan di
sekolah. Arah dan pandangan tersebut mampu dijabarkan dalam kehidupan
sehari-hari di sekolah. Sekolah bukan saja mampu mengontrol pengetahuan yang
dimiliki siswa, tetapi sekolah harus mampu mengontrol nilai-nilai yang ada pada
siswa.
Dalam
kontek perubahan, pendidikan memegang peranan yang sangat penting sekali.
Pendidikan sebagai kontrol perubahan, penyuplai bahan bakar perubahan (SDM)
dipadukan dengan keterikatan nilai-nilai akan menjadikan sebagai pendidikan
masa depan dan persekolahan khususnya sebagai tangan-tangan peradaban masa
depan.
STOP
KECURANGAN UN
KURANG lebih dua bulan lagi Kementerian
Pendidikan Nasional akan menyelenggarakan hajat besar. Yakni menyelenggarakan
Ujian Nasional (UN) untuk SMP-SMA. Meskipun kegiatan tersebut rutin
dilaksanakan setiap tahun, akan tetapi dalam proses selalu menimbulkan
kontroversi.
Polemik yang sering muncul dalam setiap kali pelaksanaan UN adalah adanya jual beli kunci jawaban. Banyak sekali spekulan yang menjual jawaban yang tidak benar, korbannya tentu orang tua dan siswa yang berpikiran pendek. Selain itu, praktik kerja sama dan menyontek juga masih sering dilakukan siswa supaya bisa lulus ujian. Semua itu menjadi catatan buruk bagi Kemendiknas dalam penyelenggarakan UN.
Hal itu juga sering diperparah dengan adanya intervensi dari pihak terkait, terutama sekolah yang menginginkan siswanya lulus 100% dengan cara membuka soal terlebih dahulu kemudian dikerjakan guru dan jawabannya disebarkan kepada anak didik.
Kecurangan semacam itu masih sering mewarnai pelaksanaan UN tiap tahun. Alasan yang digunakan karena malu jika ada anak didik sekolah yang bersangkutan tidak lulus.
Maraknya praktik mafia dalam UN sangat memprihatinkan. Seharusnya UN dilaksanakan dengan cara-cara yang fair dan elegan, bukan dengan cara-cara yang curang.
Apalagi kecurangan sangat bertentangan dengan ruh pendidikan yang mengajarkan pentingnya nilai kejujuran.
Modifikasi Soal
Langkah Kemendiknas dengan menambah jumlah paket soal yang semula dua paket menjadi lima paket patut diapresiasi.
Dengan lima paket soal yang berbeda, tentu akan mengurangi praktik jual beli jawaban UN serta meminimalikan peluang kerja sama dan aksi menyontek siswa ketika ujian berlangsung. Bukan hanya itu. Dengan modifikasi soal ujian, akan memperkecil intervensi dari berbagai pihak.
Yang terpenting saat ini harus ada sosialisasi kepada seluruh Dinas Pendidikan di tingkat provinsi, kabupaten/kota, serta sekolah dengan adanya sistem baru yang akan diterapkan, terutama dalam hal paket soal.
Tujuannya agar siswa yang ikut UN juga mempersiapkan diri sebaik mungkin dalam menghadapi soal-soal yang berbeda antara siswa satu dengan yang lain.
Meskipun ada pro dan kontra dalam sistem baru UN, itu adalah wajar. Jika sistem ini berhasil dan bisa menekan kecurangan dalam pelaksanaan UN, tentu akan lebih baik, dengan harapan kualitas pendidikan semakin meningkat.
Polemik yang sering muncul dalam setiap kali pelaksanaan UN adalah adanya jual beli kunci jawaban. Banyak sekali spekulan yang menjual jawaban yang tidak benar, korbannya tentu orang tua dan siswa yang berpikiran pendek. Selain itu, praktik kerja sama dan menyontek juga masih sering dilakukan siswa supaya bisa lulus ujian. Semua itu menjadi catatan buruk bagi Kemendiknas dalam penyelenggarakan UN.
Hal itu juga sering diperparah dengan adanya intervensi dari pihak terkait, terutama sekolah yang menginginkan siswanya lulus 100% dengan cara membuka soal terlebih dahulu kemudian dikerjakan guru dan jawabannya disebarkan kepada anak didik.
Kecurangan semacam itu masih sering mewarnai pelaksanaan UN tiap tahun. Alasan yang digunakan karena malu jika ada anak didik sekolah yang bersangkutan tidak lulus.
Maraknya praktik mafia dalam UN sangat memprihatinkan. Seharusnya UN dilaksanakan dengan cara-cara yang fair dan elegan, bukan dengan cara-cara yang curang.
Apalagi kecurangan sangat bertentangan dengan ruh pendidikan yang mengajarkan pentingnya nilai kejujuran.
Modifikasi Soal
Langkah Kemendiknas dengan menambah jumlah paket soal yang semula dua paket menjadi lima paket patut diapresiasi.
Dengan lima paket soal yang berbeda, tentu akan mengurangi praktik jual beli jawaban UN serta meminimalikan peluang kerja sama dan aksi menyontek siswa ketika ujian berlangsung. Bukan hanya itu. Dengan modifikasi soal ujian, akan memperkecil intervensi dari berbagai pihak.
Yang terpenting saat ini harus ada sosialisasi kepada seluruh Dinas Pendidikan di tingkat provinsi, kabupaten/kota, serta sekolah dengan adanya sistem baru yang akan diterapkan, terutama dalam hal paket soal.
Tujuannya agar siswa yang ikut UN juga mempersiapkan diri sebaik mungkin dalam menghadapi soal-soal yang berbeda antara siswa satu dengan yang lain.
Meskipun ada pro dan kontra dalam sistem baru UN, itu adalah wajar. Jika sistem ini berhasil dan bisa menekan kecurangan dalam pelaksanaan UN, tentu akan lebih baik, dengan harapan kualitas pendidikan semakin meningkat.
MENAKAR PROFESIONAL PENDIDIK
SURAT Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan, Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Menteri Dalam
Negeri tentang Moratorium Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) telah terbit dan
berlaku efektif mulai 1 Sepetember 2011. Meskipun moratorium tidak diberlakukan
bagi tenaga pendidik (guru), hal itu justru memiliki konsekuensi bahwa
penerimaan guru harus dilakukan secara selektif.
Sisi positif adanya moratorium bagi guru adalah kesempatan untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS) tetap terbuka. Selain itu, moratorium juga memiliki dampak positif pada upaya peningkatkan kualitas guru Indonesia. Karena moratorium sesungguhnya merupakan sinyal bahwa guru harus mampu meningkatkan kualitas kerja.
Jika tidak, bukan tidak mungkin di masa mendatang guru juga akan terkena moratorium karena tidak bekerja dengan baik. Pemerintah tentu tidak ingin mengeluarkan anggaran secara percuma hanya untuk menggaji PNS Guru yang tidak bisa bekerja secara profesional. Karena itu, adanya moratorium CPNS hendaknya dijadikan sebagai momentum bagi guru dan calon guru untuk meningkatkan kemampuan dalam mendidik.
Masih Rendah
Harus diakui jika saat ini tingkat profesionalisme guru di Indonesia masih rendah. Meskipun berbagai cara telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan profesionalitas guru, seperti dengan mengadakan seminar, pelatihan, sertifikasi, Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG), kualitas guru kita masih tetap sama.
Adanya program peningkatan kesejahteraan guru lewat jalur sertifikasi justru bukan dijadikan sebagai sarana untuk meningkatkan profesionalisme, tapi hanya digunakan untuk mencari tambahan materi. Jika hal itu dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin suatu saat guru juga bisa terkena moratorium. Alasannya sangat jelas, anggaran untuk menggaji guru sangat besar sementara kualitas guru tidak meningkat.
Karena itu, profesionalisme merupakan harga mati bagi guru jika tidak ingin terkena moratorium PNS di masa mendatang. Karena hanya dengan guru yang profesional maka pendidikan di Indonesia akan dapat maju dan melahirkan generasi penerus yang berkualitas. Dan itu artinya, pemerintah tidak salah jika mengeluarkan anggaran besar demi menggaji guru.
Selain itu profesionalisme guru memiliki korelasi yang sangat erat dengan produk pendidikan. Guru yang profesional akan membantu proses pembelajaran menjadi berkualitas, sehingga peserta didik senang mengikuti proses pembelajaran.
Sisi positif adanya moratorium bagi guru adalah kesempatan untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS) tetap terbuka. Selain itu, moratorium juga memiliki dampak positif pada upaya peningkatkan kualitas guru Indonesia. Karena moratorium sesungguhnya merupakan sinyal bahwa guru harus mampu meningkatkan kualitas kerja.
Jika tidak, bukan tidak mungkin di masa mendatang guru juga akan terkena moratorium karena tidak bekerja dengan baik. Pemerintah tentu tidak ingin mengeluarkan anggaran secara percuma hanya untuk menggaji PNS Guru yang tidak bisa bekerja secara profesional. Karena itu, adanya moratorium CPNS hendaknya dijadikan sebagai momentum bagi guru dan calon guru untuk meningkatkan kemampuan dalam mendidik.
Masih Rendah
Harus diakui jika saat ini tingkat profesionalisme guru di Indonesia masih rendah. Meskipun berbagai cara telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan profesionalitas guru, seperti dengan mengadakan seminar, pelatihan, sertifikasi, Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG), kualitas guru kita masih tetap sama.
Adanya program peningkatan kesejahteraan guru lewat jalur sertifikasi justru bukan dijadikan sebagai sarana untuk meningkatkan profesionalisme, tapi hanya digunakan untuk mencari tambahan materi. Jika hal itu dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin suatu saat guru juga bisa terkena moratorium. Alasannya sangat jelas, anggaran untuk menggaji guru sangat besar sementara kualitas guru tidak meningkat.
Karena itu, profesionalisme merupakan harga mati bagi guru jika tidak ingin terkena moratorium PNS di masa mendatang. Karena hanya dengan guru yang profesional maka pendidikan di Indonesia akan dapat maju dan melahirkan generasi penerus yang berkualitas. Dan itu artinya, pemerintah tidak salah jika mengeluarkan anggaran besar demi menggaji guru.
Selain itu profesionalisme guru memiliki korelasi yang sangat erat dengan produk pendidikan. Guru yang profesional akan membantu proses pembelajaran menjadi berkualitas, sehingga peserta didik senang mengikuti proses pembelajaran.
MINAT baca selama ini menjadi salah
satu masalah besar bagi bangsa Indonesia. Betapa tidak, saat ini minat baca
masyarakat Indonesia termasuk yang terendah di Asia.
Indonesia hanya unggul di atas Kamboja dan Laos. Padahal semakin rendah kebiasaan membaca, penyakit kebodohan dan kemiskinan akan berpotensi mengancam kemajuan dan eksistensi bangsa ini. Parahnya lagi, rendahnya minat baca bukan hanya terjadi pada masyarakat umum, di SD, SMP, SMA, bahkan di perguruan tinggi pun minat baca mahasiswa sangat rendah. Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan kondisi di Jepang.
Saat ini tentu kita sudah melihat bagaimana kemajuan perkembangan iptek di Jepang. Semua itu disebabkan karena pemerintah Jepang sangat memprioritaskan kebutuhan bahan bacaan masyarakatnya, terutama anak-anak sekolah dan mahasiswa, sehingga tak mengherankan jika perpustakaan, terutama di kampus-kampus Jepang, selalu ramai dikunjungi mahasiswa.
Berbeda dari kondisi perpustakaan kampus di Indonesia, perpustakaan kampus tak lebih hanya sebagai tempat penyimpanan dan pajangan berbagai koleksi buku dan bahan referensi lainnya. Lebih ironis lagi, perpustakaan kampus sering dijadikan sebagai tempat untuk pacaran, bukan tempat membaca dan berdiskusi.
Sebagai seorang pelajar dan calon ilmuwan, perpustakaan seharusnya menjadi tempat yang paling dicari, terutama dalam mencari referensi untuk membuat atau menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan.
Indonesia hanya unggul di atas Kamboja dan Laos. Padahal semakin rendah kebiasaan membaca, penyakit kebodohan dan kemiskinan akan berpotensi mengancam kemajuan dan eksistensi bangsa ini. Parahnya lagi, rendahnya minat baca bukan hanya terjadi pada masyarakat umum, di SD, SMP, SMA, bahkan di perguruan tinggi pun minat baca mahasiswa sangat rendah. Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan kondisi di Jepang.
Saat ini tentu kita sudah melihat bagaimana kemajuan perkembangan iptek di Jepang. Semua itu disebabkan karena pemerintah Jepang sangat memprioritaskan kebutuhan bahan bacaan masyarakatnya, terutama anak-anak sekolah dan mahasiswa, sehingga tak mengherankan jika perpustakaan, terutama di kampus-kampus Jepang, selalu ramai dikunjungi mahasiswa.
Berbeda dari kondisi perpustakaan kampus di Indonesia, perpustakaan kampus tak lebih hanya sebagai tempat penyimpanan dan pajangan berbagai koleksi buku dan bahan referensi lainnya. Lebih ironis lagi, perpustakaan kampus sering dijadikan sebagai tempat untuk pacaran, bukan tempat membaca dan berdiskusi.
Sebagai seorang pelajar dan calon ilmuwan, perpustakaan seharusnya menjadi tempat yang paling dicari, terutama dalam mencari referensi untuk membuat atau menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan.
Menumbuhkan Minat Baca
Faktor yang menjadi peyebab sepinya perpustakaan, selain minat baca mahasiswa yang menurun, juga karena perpustakaan tidak bisa mengikuti perkembangan zaman dengan tidak memenuhi kebutuhan mahasiswa. Untuk memenuhi kebutuhan tugas-tugas kuliah, mahasiswa seringkali lebih memilih cara instan, yaitu mencari di internet.
Mengapa minat baca mahasiswa rendah? Menurut (Arixs: 2006) ada enam faktor penyebab: (1) Sistem pembelajaran di Indonesia belum membuat mahasiswa harus membaca buku, (2) banyaknya tempat hiburan, permainan, dan tayangan TV yang mengalihkan perhatian mereka dari menbaca buku, (3) budaya baca memang belum pernah diwariskan nenek moyang kita, sedangkan budaya tutur masih dominan daripada budaya membaca, (4) sarana untuk memperoleh bacaan seperti perpustakaan atau taman bacaan masih merupakan barang langka, (5) tidak meratanya penyebaran bahan bacaan di berbagai lapisan masyarakat (6) serta dorongan membaca tidak ditumbuhkan sejak jenjang pendidikan praperguruan tinggi.
Faktor yang menjadi peyebab sepinya perpustakaan, selain minat baca mahasiswa yang menurun, juga karena perpustakaan tidak bisa mengikuti perkembangan zaman dengan tidak memenuhi kebutuhan mahasiswa. Untuk memenuhi kebutuhan tugas-tugas kuliah, mahasiswa seringkali lebih memilih cara instan, yaitu mencari di internet.
Mengapa minat baca mahasiswa rendah? Menurut (Arixs: 2006) ada enam faktor penyebab: (1) Sistem pembelajaran di Indonesia belum membuat mahasiswa harus membaca buku, (2) banyaknya tempat hiburan, permainan, dan tayangan TV yang mengalihkan perhatian mereka dari menbaca buku, (3) budaya baca memang belum pernah diwariskan nenek moyang kita, sedangkan budaya tutur masih dominan daripada budaya membaca, (4) sarana untuk memperoleh bacaan seperti perpustakaan atau taman bacaan masih merupakan barang langka, (5) tidak meratanya penyebaran bahan bacaan di berbagai lapisan masyarakat (6) serta dorongan membaca tidak ditumbuhkan sejak jenjang pendidikan praperguruan tinggi.
Perpustakaan sesungguhnya memainkan peranan penting bagi terciptanya budaya membaca bagi mahasiswa. Perpustakaan merupakan jembatan menuju penguasaan ilmu pengetahuan, dapat memberikan kontribusi penting bagi terbukanya akses informasi, serta menyediakan data yang akurat bagi proses pengambilan sumber-sumber referensi bagi pengembangkan ilmu pengetahuan. Dan semua itu hanya bisa di dapatkan dengan cara membaca.
Oleh sebab itulah, perpustakaan kampus hendaknya didesain sedemikian rupa supaya mahasiswa dan civitas academica lebih betah berada di sana. Perpustakaan harus mampu memenuhi dahaga para mahasiswa yang haus akan ilmu pengetahuan dengan empat cara.
Pertama, menambah sarana dan prasarana perpustakaan, seperti adanya fasilitas dan jaringan internet atau wi-fi, memperbanyak ruang diskusi, dan memperbaiki ruang bacaan. Jika hal ini dapat diwujudkan, tentu akan menarik perhatian mahasiswa berkunjung ke perpustakaan.
Kedua, memberikan pelayanan yang baik, ramah, dan bersahabat. Hal ini sangat penting mengingat para pengunjung adalah mahasiswa yang berpendidikan. Jadi jika ada pelayanan dari petugas yang kurang baik dan kurang memuaskan tentu mereka akan protes dan kurang nyaman dalam menggunakan fasilitas perpustakaan.
Ketiga, tersedianya koleksi buku yang memadai. Koleksi bahan bacaan (buku atau literarur) merupakan komponen yang paling penting bagi perpustakaan. Koleksi yang harus dimiliki oleh perpustakaan minimal adalah buku wajib bagi setiap mata kuliah yang diajarkan dan jumlahnya harus memadai. Menurut SK Mendikbud 0686/U/1991, setiap mata kuliah dasar dan mata kuliah keahlian harus disediakan dua judul buku wajib dengan jumlah eksemplar sekurang-kurangnya 10 % dari jumlah mahasiswa yang mengambil mata kuliah tersebut.
Keempat, menciptakan iklim membaca di kampus. Lingkungan akademik yang kondusif akan mendorong mahasiswa untuk rajin ke perpustakaan. Hal itu bisa dilakukan, misalnya dengan cara dosen memberikan tugas membaca bagi mahasiswanya.
Jika perpustakaan dapat memberikan layanan yang baik dan menyediakan berbagai kebutuhan literatur yang dibutuhkan, maka mahasiswa akan banyak mendatangi perpustakaan. Lingkungan yang demikian memang tidak bisa diciptakan sendirian oleh perpustakaan, melainkan harus bekerja sama dengan seluruh warga kampus.
No comments:
Post a Comment